SD Mangunan
YOGYAKARTA -– Bisa jadi Sekolah Dasar Mangunan merupakan yang terunik di wilayah Kota Pelajar Yogyakarta. Di SD ini tidak diajarkan mata pelajaran agama, dan proses belajar mengajarnya pun bisa di mana saja.
Di dalam ruangan, di sawah, di sungai, di bawah naungan rindang pohon, atau malah di jalanan kampung. Bahkan ruang kelasnya pun bukan di kelas umum yang bersegi empat, namun justru di pendapa rumah penduduk.
Maklum saja, sekolah itu memang menyewa empat rumah penduduk di sana. Keanehan itu masih akan bertambah lagi. Misalnya, tempat duduk dan meja di ruangan kelas bisa diubah setiap saat. Bukan berderet dan berjajar seperti sekolah lainnya, tapi benar-benar bebas sesuai selera dan mata pelajaran yang sedang diajarkan. Bisa berbentuk ladam kuda, bisa pula berkelompok. Itulah Sekolah Dasar Kanisius Mangunan, yang kemudian lebih dikenal dengan SD Mangunan.
Terletak di Dusun Mangunan, Desa Kalitirto, Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman, sekitar 12 kilometer di sisi timur Kota Yogya, SD itu merupakan bentuk dan metode pendidikan obsesi almarhum Romo YB Mangunwijaya, seorang rohaniwan Katholik. Di SD ini Romo Mangun - begitu sapaan akrabnya di kala masih hidup - berusaha memadukan unsur proses bina religiositas, budi luhur, pencerdasan, serta semangat kerja nyata.
Apa kata Romo Mangun kala itu ketika menyatakan tidak perlu pendidikan agama secara resmi di SD Mangunan tersebut? Menurut Siswandi, salah seorang guru SD Mangunan yang telah mengajar lima tahun kepada SH pada Kamis (2/5), Romo Mangun memang menuntut anak-anak memiliki pendidikan dasar keimanan, sebab iman merupakan dasar dari semua agama.
Menurut pandangan Romo Mangun, orang yang beriman tentu beragama; namun mereka yang mengaku beragama belum tentu beriman. ”Oleh karena itulah di sini tidak ada pelajaran agama. Yang selalu kami gelar adalah komunikasi iman”, ujarnya.
Soal keimanan itu, maka yang diajarkan adalah seputar pengalaman hidup sehari-hari yang berhubungan dengan tingkah laku yang benar, budi pekerti, dan kerukunan umat beriman. ”Pengalaman mereka berdialog dengan rekan, orangtua, dan tetangganya didialogkan dengan teman-teman sekelas di sini,” kata Siswandi.
Siswandi yang mengajar kelas V menuturkan, anak-anak didiknya sering diajak keluar kelas dan belajar langsung di alam terbuka. ”Apa saja yang kami temui di sana dapat kami diskusikan. Tentu saja semua berhubungan dengan mata pelajaran yang sedang kami bahas,” katanya.
Untuk memacu kebebasan berpikir dan kreativitas, anak-anak usia SD itu selalu diminta untuk membuat semacam ”laporan” hasil pengamatan mereka. Laporan itu pun didiskusikan di antara mereka dan kemudian membuat kesimpulan.
Untuk menumbuhkan jiwa seni, pihak sekolah juga mengundang sejumlah seniman kondang dari Yogya. Dulu, sewaktu jadwal Butet Kartaredjasa belum sibuk, ia sering datang ke sekolah ini untuk mengajari anak-anak bercerita kisah-kisah menarik.
Kini sekolah itu masih mengundang penyair Wani Darmawan maupun Cak Agus Aceh untuk mengajari anak-anak membaca puisi dan membuat syair. Bahkan secara periodik siswa itu juga diajak ke Rumah Seni Senthong.
Kurikulum Gado-gado
SD Mangunan itu semula nyaris dibubarkan karena kekurangan murid sebagai salah satu akibat keberhasilan program Keluarga Berencana. Akan tetapi Romo YB Mangunwijaya kemudian meminta sekolah itu untuk tetap diteruskan sebagai SD Percobaan Mangunan. Ranting Dinas P&K Kecamatan Berbah, Sleman mengizinkan.
Sekolah itu dikelola Romo YB Mangunwijaya mulai tahun ajaran 1994/1995 di bawah sebuah lembaga yang diberi nama Pendidikan Dasar Eksperimental Mangunan (PDEM). Lembaga itu beraliansi dengan Yayasan Kanisius, Grasindo dari Kelompok Kompas Gramedia (KKG), dan Yayasan Dinamika Edukasi Dasar yang didirikan Romo Mangun.
Dalam menerapkan kurikulum belajar-mengajar di SD Mangunan ini akhirnya memang berbeda dengan sekolah yang lain. Meskipun tetap mengacu pada kurikulum pemerintah, namun ada pengembangan-pengembangan dengan metode pendidikan yang cukup modern meski tetap berpijak pada akar budaya lokal. ” Kurikulum dari pemerintah tetap kami pakai sebab itu merupakan kurikulum dasar. Sejalan dengan desentralisasi, kami diberi kebebasan untuk menjalankan kurikulum itu menurut selera di sekolah,” tutur Susana Endang Cahyani, guru Bahasa Inggris sekaligus coordinator kurikulum.
SD Mangunan itu kini memiliki 46 siswa. Ketika Romo Mangun meninggal dunia, sekolah ini sempat tidak menerima siswa kelas satu selama dua tahun. Kemudian kembali sekolah itu menerima siswa lagi. Bisa dimengerti jika pada tahun 1999 jumlah siswa mencapai 72 murid, kini tinggal 46 dikarenakan ada masa kosong dua tahun tersebut.
”Tujuan Romo Mangun dengan system pengajarannya itu adalah agar para siswanya memiliki jiwa kritis, kreatif, dan berani bertanya. Di sini, guru merupakan guru sejati, bukan pawang. Kami menjadi guru, teman, dan sahabat. Ada konsep ‘ajrih-asih’ dari Romo Mangun. Guru itu memang harus disegani, ditakuti, tapi harus welas asih,” ujar Endang.
Soal prestasi akademik, SD Mangunan masih bertengger di 10 besar dari 29 SD di Kecamatan Berbah jika dilihat dari hasil Ebtanas tahun 2001. Dari 11 lulusan kelas VI, lima anak diterima di SLTP Negeri, sementara lainnya meskipun bisa masuk ke negeri, tetapi memilih tetap di SLTP swasta dengan alasan tersendiri.
Konsep Homo Ludens
Dalam menerapkan sistem belajar mengajar, Romo Mangun membuat konsep dasar homo ludens. Artinya, manusia yang bermain. Dengan metode tersebut rohaniwan ini menginginkan agar anak-anak dapat belajar secara langsung berdasarkan pengalaman hidup sehari-hari, tanpa meninggalkan sifat si anak, yaitu bermain. ” Anak didik kami di sini berusaha menyerap ilmu secara langsung dari pengalaman sehari-hari,” kata Endang.
Beberapa pelajaran di sana juga agak aneh jika dibandingkan sekolah umum lainnya. Lihat saja ada pelajaran ”Kotak Pertanyaan” dan ”Bacaan Bagus”. Dalam ”Kotak Pertanyaan”, para murid diberi kertas kecil yang kemudian diisi dengan berbagai pertanyaan yang ditemui sehari-hari.
Caranya, mereka menguraikan masalahnya terlebih dulu, baru kemudian bertanya. Sebagai contoh, ada seorang siswa yang menceritakan kenapa para tukang kayu setiap menyambung kayu tidak dengan paku, tetapi justru dipasak dengan bambu. Ada lagi yang menceritakan soal kehidupan belut. Mengapa belut bisa bernafas di dalam Lumpur, sementara ikan tidak? Semua pertanyaan itu kemudian dilemparkan kembali kepada para siswa untuk menjawabnya. Jika dalam dialog para siswa ternyata belum menemukan jawabnya, maka tugas guru yang menjelaskan.
Sementara untuk pelajaran ”Bacaan Bagus”, para murid diminta membaca sebuah bacaan yang menarik, biasanya tentang ilmu pengetahuan. Isi bacaan itu kemudian dibahas bersama dengan duduk berkelompok, saling berhadapan, dan guru hanya memandu diskusi anak-anak usia SD itu.
Di sekolah itu juga banyak disimpan alat-alat permainan simulasi yang berhubungan dengan pelajaran matematika, seperti perkalian, menghafal rumus, dsbnya. Alat-alat itu ada yang dibuat oleh guru, ada pula yang berasal dari Jerman dan Belanda. ” Yang penting, anak-anak di sini tidak takut dengan pelajaran matematika, IPA, maupun Bahasa Inggris. Semua diajarkan dengan suasana bermain yang menggemberikan,” kata Endang.
Pelajaran bahasa Inggris misalnya, anak-anak sering diajak keluar kelas untuk melihat alam sekitarnya. Bahkan di dalam kelas, Endang pun berusaha memacu anak-anak untuk berkomunikasi dengan Bahasa Inggris. Sementara untuk matematika, mereka menggunakan metoda dan buku-buku dari Belanda seperti ”PLUS PUN”.
Dalam pelajaran Bahasa Inggris di Kelas VI, misalnya, setiap siswa diminta membaca dengan jelas setiap kosa kata bahasa Inggris tersebut. Meski masih terbata-bata, Yuli pun berusaha mengucapkan bacaan Bahasa Inggris tersebut tanpa takut salah, apalagi malu.
Berdinding Gedeg
SD Mangunan adalah sekolah yang amat sederhana. Karena menyewa empat rumah penduduk, dindingnya pun setengah tembok, separo gedeg dari anyaman bambu. Rumah itu sejak 1994 disewa untuk masa waktu sembilan tahun. Namun sejak 2001 lalu sewa rumah itu bisa diperpanjang hingga 15 tahun ke depan. Oleh karena itu, ada sebuah rumah yang dibuat agak permanen dengan ditembok. Kini sedang dikerjakan oleh para tukang.
Soal besarnya SPP, setiap bulan rata-rata tiap siswa ditarik Rp 4.000. ” Namun ada juga siswa yang gratis karena disumbang oleh orang lain secara personal. Jadi semacam beasiswa, bukan karena prestasi akademiknya, namun lebih melihat pada kemampuan ekonomi orangtuanya,” kata Endang.
Asal keluarga para siswa di sekolah itu pun sebagian besar dari kalangan ekonomi lemah. Para orangtua mereka adalah buruh tani, sopir angkutan, pedagang sayur di pasar. ” Yang tergolong kalangan menengah ke atas bisa dihitung dengan jari,” ujar Endang.
Hal itu diakui oleh guru kelas I Ch Rupini dan Ch Sri Siwiyanti. Salah seorang anak didiknya adalah putri dari seorang pedagang sayur. Akan tetapi ada juga siswa yang harus membayar Rp 9.000 per bulan karena ia dianggap dari kalangan orang yang berekonomi lebih baik.
Dan untuk memperingati Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei 2002, memang di sana digelar upacara, namun lebih bersifat serenomonial belaka. ” Anak-anak baru belajar upacara bendera pagi ini tadi,” ujar seorang guru. Hal itu berbeda dengan sebuah SD Negeri yang berjarak sekitar 500 meter dari SD Mangunan. Di sana digelar upacara resmi, lengkap dengan spanduk ” Memperingati Hardiknas 2002”.
Dari kasus itu bisa ditarik kesimpulan sementara dalam memaknai Hardiknas. Ada yang langsung mengambil makna pendidikan secara langsung, namun ada pula yang masih dibebani dengan segala tetek-bengek upacara resmi.
Hanya saja, beberapa sekolah negeri di Yogya, begitu upacara Hardikas usai, para siswa langsung meliburkan diri dan mereka ada yang ngeluyur ke warung internet untuk chatting. Di SD Mangunan, mereka masih sibuk belajar. (SH/Suherdjoko) sinar harapan
No comments:
Post a Comment